KEWAJIBAN
BELAJAR DAN MENGAJAR
(DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN)
Mata Kuliah :
TAFSIR TARBAWI
Dosen Pengampu:
Drs. Abdul Halim Nasution, M.Ag
Oleh Kelompok 3 : LESNIDA LUBIS
RIZKY AMALIA HAFNI
ARDINA KHORUNNISA HASIBUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI 2)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat seta salam
semoga tercurahkan kepada nabi kita, Muhammad SAW., keluarga serta sahabatnya
dan akhirnya kepada kita sebagai umat yang tunduk terhadap ajaran yang
dibawanya.
Kami selaku penyusun makalah ini merasa lega dan bahagia karena
bisa menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Kewajiban belajar dan mengajar dalam pandangan al-Quran” sesuai
dengan waktu yang direncanakan, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para
mahasiswa atau pelajar, terutama bermanfaat bagi kelompok kami yang sudah
berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan makalah ini, guna untuk memenuhi
tugas perkuliahan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya makalah ini, terutama kepada Bapak Drs. Abdul
Halim, M.Ag Beliau telah mempercayakan kami dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar .................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................ ii
BAB I
Pendahuluan ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah
.............................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II
KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR
DALAM
PANDANGAN AL-QUR’AN............................................. 3
A. Pengertian
Belajar Dan mengajar....................................................................... 3
B. Ayat-ayat
Al-Quran yang mengandung tentang kewajiban belajar mengajar
dan penafsiran ayat tersebut oleh para ulama..................................................... 4
1. Q.S. Al-alaq
ayat 1-5, ............................................................................ 4
2. Q.S Al-Ghasiyah
ayat 17-20, ................................................................. 6
3. Q.S At-taubah
ayat 122, ........................................................................ 7
4. Q.S Ali-Imran
ayat 191 Dan ................................................................. 9
5. Q.S Al-Ankabut
ayat 19-20..................................................................... 12
C. Implementasi
konsep belajar dalam proses pembelajaran di kelas..................... 14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan ............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kemajuan
peradaban manusia dewasa ini tak bisa dilepaskan dari kemajuan ilmu pengetahuan
yang menjadi warisan terbesar dari proses pendidikan yang terjadi. Proses
pendidikan itu dapat dikatakan berlangsung dalam semua lingkungan pengalaman
hidup manusia mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga, sekolah sampai
kepada masyarakat luas. Hal ini berlangsung dalam semua tahapan perkembangan
seseorang sepanjang hayatnya yang dikenal dengan istilah longlife
education.
Dalam Islam
pendidikan tidak dilaksanakan hanya dalam batasan waktu tertentu saja,
melainkan dilakukan sepanjang usia (min al-mahd ila> al-lahd).
Islam juga memotivasi pemeluknya untuk selalu membaca, menelaah dan meneliti
segala sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi di jagad alam raya
ini dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan yang pada
akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Dalam pandangan
Islam tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi yang
sama dalam menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait
urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan
pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga. Karena
manusia dapat mencapai kebahagiaan hari kelak dengan melalui jalan kehidupan
dunia ini.
Berbicara
tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang kegiatan
belajar mengajar yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan
itu sendiri. Belajar mengajar memiliki peran yang sangat penting karena tanpa
itu proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk
diwujudkan. Maka pada kesempatan ini penulis
akan membahas tentang kewajiban belajar mengajar dalam Q.S. Al-alaq ayat
1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, Q.S At-taubah ayat 122, Q.S Ali-Imran ayat 191
Dan Q.S Al-Ankabut ayat 19-20.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian
Belajar Dan mengajar
2.
Ayat-ayat
Al-Quran yang mengandung tentang kewajiban belajar mengajar Dan penafsiran ayat tersebut oleh para ulama
3.
Implementasi
konsep belajar dalam proses pembelajaran di kelas
C.
TUJUAN PENELITIAN
1.
Untuk
mengetahui Pengertian Belajar Dan mengajar
2.
Untuk
mengetahui ayat-ayat Al-Quran yang mengandung tentang kewajiban belajar
mengajar Dan penafsiran ayat tersebut
oleh para ulama
3.
Untuk
mengetahui Implementasi konsep belajar dalam proses pembelajaran di kelas
BAB II
KEWAJIBAN
BELAJAR MENGAJAR DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN
A.
PENGERTIAN BELAJAR MENGAJAR
Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk belajar, karena “belajar”
telah dimulainya bahkan sebelum berbentuk sebagai manusia yaitu ketika masih
berbentuk spermatozoa yang belajar berusaha untuk mempertahankan
eksistensinya ditengah 200-600 juta spermatozoa lainnya yang berjuang untuk
survive menembus ovum untuk kemudian menjadi cikal bakal manusia yang mendiami
rahim. Banyak diantaranya yang gugur ditengah jalan dan uniknya hanya satu atau
dua sperma yang berhasil finish mencapai ovum dan terjadi konsepsi, sementara
yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah dibuahi.
Secara sederhana, belajar berarti berusaha mengetahui sesuatu,
berusaha memperoleh ilmu pengetahuan (kepandaian, keterampilan). Belajar
adalah sesuatu yang menarik karena sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
manusia selalu berusaha mengetahui sesuatu yang berada dalam
lingkungannya untuk menunjukkan eksistensi kemanusiaannya. Sedangkan
mengajar adalah memberikan serta menjelaskan kepada orang tentang suatu
ilmu; memberi pelajaran. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kegiatan belajar mengajar merupakan suatu aktifitas yang dikerjakan dalam
rangka memperoleh ilmu pengetahuan, sedangkan dalam proses itu sendiri ada
sipelajar yang menerima ilmu dan ada guru yang memberikan pelajaran. Maka
berbicara tentang belajar mengajar, tidak bisa dilepaskan dari ilmu pengetahuan
itu sendiri sebagai objek dari kegiatan ini.
Sejak awal kehadirannya, islam telah memberikan perhatian yang amat
besar terhadap kegiatan belajar dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini antara
lain dapat dilihat pada apa yang ditegaskan dalam al-Qur’an, dan pada yang
secara empiris dapat dilihat dalam sejarah. Yang dimakud dengan belajar
mengajar (pendidikan) dalam arti yang seluas-luasnya disini adalah pendidikan
yang bukan hanya berarti formal seperti disekolah, tetapi juga yang informal
dan nonformal. Yaitu pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja
yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang
membutuhkan, dimana saja mereka berada, menggunakan sarana apa saja, dengan
cara-cara apa saja, sepanjang hayat manusia itu.
B.
AYAT-AYAT AL-QUR’AN YANG BERKAITAN DENGAN KEWAJIBAN BELAJAR
MENGAJAR
1.
Q.S. Al-alaq ayat 1-5,
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis
baca.
Dalam ayat ini kata iqra’ dapat berarti membaca atau mengkaji.
Sebagai aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai
pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari
Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika.
Menurut Quraish Shihab, kata
iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun, yang mana melahirkan
makna lain seperti, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui
ciri sesuatu, dan membaca baik teks yang tertulis maupun yang tidak. Wahyu
pertama ini tidak menjelaskan hal spesifik tentang apa yang harus dibaca, karena
Al-Qur’an menghendaki ummatnya membaca apa saja selama bacaan itu bismi
Rabbik, dalam artian bermanfaat bagi manusia.
Sementara kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal
baca-tulis hingga dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan
terjadi tanpa peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan
al-qalam.
Selanjutnya, dapat diketahui pula bahwa ada dua cara perolehan
dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena sebagaimana yang
telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia tanpa pena yang
belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar
usaha manusia dan cara kedua adalah mengajar tanpa alat dan tanpa usaha
manusia. Meskipun berbeda namun keduanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah
SWT.
Wahyu pertama ini dimulai dengan kata ( إقرأ = membaca)
yaitu bentuk kata perintah atau فعل الأمر yang merupakan perubahan dari kata
bentuk mudhari’ yang dibentuk dengan mengganti awalan katanya dengan
huruf alif. Menurut
kaidah ushul al-fiqh,bahwa kata-kata dalam al-qur’an yang dimulai dari
kata perintah adalah merupakan kewajiban dari perintah iu
sendiri, al-ashl fi> al-amr lil wuju>b. Dari sini dapat
dipahami bahwa perintah belajar (membaca) merupakan sebuah kewajiban bagi ummat
islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim dan muslimat.
Menurut Al-Ghazali, hadith
ini menerangkan bahwa sekurang-kurangnya yang wajib bagi seorang muslim setelah
mencapai akil baligh dan keislamannya adalah mengetahui dua kalimat syahadat
dan memaknai maknanya, tidak wajib baginya untuk menyempurnakannya dengan
penjelasan-penjelasan terperinci.
Selain itu, menurut Abuddin Nata, wahyu
pertama ini juga mengandung perintah agar manusia memiliki keimanan, yaitu
berupa keyakinan terhadap adanya kekuasaan dan kehendak Allah, yang juga
mengandung pesan ontologis tentang sumber dari ilmu pengetahuan. Pesan membaca
itu dipahami dalam objek yang bermacam-macam, yaitu berupa apa yang tertulis
seperti dalam surah Al-‘Alaq itu sendiri dan yang tidak tertulis sperti yang
terdapat pada alam jagat raya dengan segala hukum kausalitas yang ada
didalamnya, dan dalam diri manusia.
Membaca (belajar) menjadi penting dan wajib karena dengan
begitu manusia dapat mengetahui hal-hal baru yang dapat memudahkannya dalam menjalani
kehidupannya. Masih menurut Nata, membaca
ayat-ayat Allah yang ada dalam al-Qur’an dapat menghasilkan ilmu-ilmu agama
seperti Fiqih, Tauhid, Akhlak dan sebagainya. Sedangkan membaca yang ada
dijagat raya dapat menghasilkan ilmu sains seperti fisika, biologi, kimia dan
sebagainya. Selanjutnya dengan membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam diri
manusia dari segi fisiknya menghasilkan sains seperti ilmu kedokteran dan ilmu
raga, sedangkan dari tingkah lakunya dapat menghasilkan ilmu ekonomi, politik,
sosiologi, antropologi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, karena objek ontologi seluruh ilmu tersebut adalah
ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya ilmu itu pada hakekatnya adalah milik Allah
dan harus diabdikan untuk Allah. Manusia hanya menemukan dan memanfaatkan
ilmu-ilmu itu. Maka pemanfaatannya harus ditujukan untuk mengenal, mendekatkan
diri dan beribadah kepada Allah SWT.
2.
Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20,
xsùr& tbrãÝàYt n<Î) È@Î/M}$# y#ø2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#ø2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ
17. Maka Apakah
mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,?
18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Al-Maraghi
mengatakan bahwa pada ayat 17 dipaparkan dalam bentuk istifham (bertanya)
yang mengandung pengertian sanggahan terhadap keyakinan kaum kuffar dan
sekaligus merupakan celaan atas sikap keingkaran mereka kepada hari kebangkitan.
Sesungguhnya
jika mereka yang ingkar dan ragu mau menggunakan akalnya untuk memikirkan
bagaimana perihal penciptaan unta, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana
gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan, niscaya
mereka akan mengetahui bahwa semuanya diciptakan dan dipelihara oleh
Allah. Kemudian Allah mengatur dan memelihara makhluknya dengan patokan yang
serba rapi dan bijaksana.
Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada para hambanya untuk memperhatikan
kepada makhluk-makhluknya yang menunjukkan kepada kekuasaan dan keagungan-Nya,
“apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?” Unta
dikemukakan karena dia merupakan ciptaan yang menakjubkan, susunan tubuhnya
sungguh memikat dan unta itu sendiri mempunyai kekuatan dan kekokohan yang luar
biasa. “Dan langit bagaimana ia ditinggikan?” yaitu Allah
meninggikan langit dari bumi ini merupakan peninggian yang sangat agung. “Dan
gunung-gunung bagaiman ia ditegakkan?” yaitu menjadikannya tertancap
sehingga menjadi kokoh dan teguh sehingga bumi tidak menjadi miring bersama
penghuninya. “Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” yaitu
bagaimana dia dibentangkan, dipanjangkan, dan dihamparkan.
Allah sengaja
memaparkan semua ciptaan-Nya secara khusus, sebab bagi orang yang berakal
tentunya akan memikirkan apa yang ada disekitarnya. Seseorang akan melihat unta
yang dimilikinya. Pada saat ia mengangkat pandangannya ke atas, ia melihat
langit. Jika ia memalingkan pandangannya ke kiri dan kanan, tampak di
sekelilingnya gunung-gunung. Dan jika ia meluruskan pandangannya atau
menundukkannya, ia akan melihat bumi terhampar.
3.
Q.S At-taubah ayat 122,
* $tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
122. tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Tafsir Mufradat
لينفروا : نفر –
ينفر = Berangkat perang
فلولا : لولا =
Kata-kata yang berarti anjuran
dan dorongan melakukan sesuatu yang disebutkan sesudah kata-kata tersebut,
apabila hal itu terjadi di masa yang akan datang. Tapi laula juga
berarti kecaman atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan sesudah kata itu,
apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila hal yang dimaksud merupakan
perkara yang mungkin dialami, maka bisa juga laula, itu berarti
perintah mengerjakannya.
فرقة : الفرقة Kelompok
besar =
طآئفة : الطآئفة Kelompok
kecil =
ليتفقهوا : تفقه – يتفقه =
Berusaha keras untuk mendalami
dan memahami suatu perkara dengan susah payah untuk memperolehnya.
لينذروا : أنذر – ينذر Menakut-nakuti
=
يحذرون : حذر – يحذر Berhati-hati
=
Tafsir
Ayat ini menerangkan kelengkapan
dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan. Yakni, hukum mencari ilmu dan
mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara
berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti, dan juga
merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada iman dan menegakkan sendi-sendi
islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak
disyari’atkan kecuali untuk menjadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut,
agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan
munafik.
Menurut riwayat Al
Kalabi dari Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan, “Setelah
Allah mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai Rasul dalam
peperangan, maka tidak seorang pun diantara kami yang tinggal untuk tidak
menyertai bala tentara atau utusan perang buat selama-lamanya. Hal itu
benar-benar mereka lakukan, sehingga tinggallah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam sendirian”, maka turunlah wahyu, “وما كان المؤمنون”
وما كان المؤمنون لينفروا كآفة…
Tidaklah patut bagi orang-orang
mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai
setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu
sebenarnya fardhu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian
maka gugurlah yang lain, bukan fardhu ‘ain, yang wajib dilakukan
setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan
mengerahkan kaum mukmin menuju medan perang. (Al Maraghi, 1987:84-85)
Menurut
Al-Maraghi ayat tersebut memberi isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu
agama serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya di
dalam suatu negeri yang telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia
berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan kepada mereka
sehingga tidak membiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada
umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman.
4.
Q.S Ali-Imran ayat 191
tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami,
Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka.
Tafsir Mufradat
الَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللَّهَ = orang-orang
yang mengingat Allah
قِيَامًا = berdiri
وَقُعُودًا = duduk
وَعَلَى
جُنُوبِهِمْ = berbaring
وَيَتَفَكَّرُونَ = dan mengingat
فِي خَلْقِ = penciptaan
السَّمَاوَاتِ = langit
وَالْأَرْضِ = dan bumi
رَبَّنَا = ya tuhan kami
مَا خَلَقْتَ
= tiada engkau menciptakan
هَذَا بَاطِلًا
= ini dengan sia-sia
سُبْحَانَكَ
= Maha Suci Engkau
فَقِنَا = maka peliharalah
kami
عَذَابَ
النَّار = siksa
api neraka
TAFSIR
Pada ayat 191 mendefinisikan orang-orang yang mendalam pemahamannya
dan berpikir tajam (Ulul Albab), yaitu orang yang berakal, orang-orang yang mau
menggunakan pikirannya, mengambil faedah, hidayah, dan menggambarkan keagungan
Allah. Ia selalu mengingat Allah (berdzikir) di setiap waktu dan keadaan, baik
di waktu ia beridiri, duduk atau berbaring. Jadi dijelaskan dalam ayat ini
bahwa ulul albab yaitu orang-orang baik lelaki maupun perempuan yang terus
menerus mengingat Allah dengan ucapan atau hati dalam seluruh situasi dan
kondisi.[12]
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa objek dzikir adalah
Allah, sedangkan objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam.
Ini berarti pengenalan kepada Allah lebih banyak didasarkan kepada kalbu,
Sedang pengenalan alam raya oleh penggunaan akal, yakni berpikir. Akal memiliki
kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki
keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah, karena itu dapat dipahami sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibn ‘Abbas,
تفكرافى اخلق ولاتتفكروافى اخا لق
“Pikirkan dan renungkanlah segala sesuatu yang mengenai makhluk
Allah jangan sekali-kali kamu memikirkan dan merenungkan tentang zat dan
hakikat Penciptanya, karena bagaimanapun juga kamu tidak akan sampai dan tidak
akan dapat mencapai hakikat Zat Nya.”
Orang-orang yang berdzikir lagi berfikir mengatakan: "Ya Tuhan
kami, tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini semua, yaitu langit dan bumi
serta segala isinya dengan sia-sia, tidak mempunyai hikmah yang mendalam dan
tujuan yang tertentu yang akan membahagiakan kami di dunia dan di akhirat,
sebagaimana disebar luaskan oleh sementara orang-orang yang ingin melihat dan
menyaksikan akidah dan tauhid kaum muslimin runtuh dan hancur. Maha Suci Engkau
Ya Allah dari segala sangkaan yang bukan bukan yang ditujukan kepada Engkau.
Karenanya, maka peliharalah kami dari siksa api neraka yang telah disediakan
bagi orang-rang yang tidak beriman.[13]
Ucapan ini adalah lanjutan perasaan sesudah dzikir dan pikir, yaitu tawakkal
dan ridha, berserah dan mengakui kelemahan diri. Sebab itu bertambah tinggi
ilmu seseorang, seyogyanya bertambah pula dia mengingat Allah. Sebagai tanda
pengakuan atas kelemahan diri itu, dihadapan kebesaran Tuhan.[14]
Pada ujung ayat ini ( “Maha suci Engkau ! maka peliharalah kiranya
kami dari azab neraka” ) kita memohon ampun kepada Tuhan dan memohon agar
dihindarkan dari siksa neraka dengan upaya dan kekuatan-Mu serta mudahkanlah
kami dalam melakukan amal yang diridhai Engkau juga lindungilah kami dari
azab-Mu yang pedih.[15]
5.
Q.S Al-Ankabut ayat 19-20.
öNs9urr& (#÷rtt y#ø2 äÏö7ã ª!$# t,ù=yø9$# ¢OèO ÿ¼çnßÏèã 4 ¨bÎ) Ï9ºs n?tã «!$# ×Å¡o ÇÊÒÈ ö@è% (#rçÅ Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#ø2 r&yt/ t,ù=yÜø9$# 4 ¢OèO ª!$# à×Å´Yã nor'ô±¨Y9$# notÅzFy$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ÖÏs% ÇËÉÈ
19. dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali).
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
20.
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana
Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya
sekali lagi[1147]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
[1147]
Maksudnya: Allah membangkitkan manusia sesudah mati kelak di akhirat
Makna Mufradat
Dalam makna mufradat pada surat Al-Ankabut ayat 19 Kata (يَرَوْا) yarau terambil
dari kata ra’a yang adapat berarti melihat dengan mata kepala atau mata
hati atau memikirkan atau memperhatikan.
Kata (يُبْدِئُ) yubdi’u terambil dari kata bada’a. kata yang
terdiri dari huruf-hurufba’, dal’ dan hamzah, berkisar maknanya pada memulai
sesuatu.
Sementara ulama membatasi kata (الْخَلْقَ) al-khalq pada ayat ini dalam
pengertian manusia. Ini karena mereka memaknai kata (يُعِيدُهُ) yu’iduhu atau
mengulanginya yakni mengembalikan manusia hidup kembali diakhirat setelah
kematiannya didunia ini.
Sedangkan makna mufradat surat Al-Ankabut ayat 20 kata (النَّشْأَةَ) an-nasy’ yaitu
kejadian. akhirat yang digunakan dalam ayat ini menunjukkan terjadinya sekali
kejadian.
Penyebutan kata Allah pada firman-Nya: kemudian
Allah menjadikannya di kali lain- walaupun telah disebut nama agung itu
ketika berbicara tentang penciptaan pertama kali, untuk menegaskan
bahwa yang memulai penciptaan yaitu Allah, Dia juga melakukan kejadian pengulangannya.
Perintah berjalan yang dirangkaikan dengan perintah melihat seperti
firmannya (فَانْظُرُوا الْأَرْضِ فِي سِيرُوا) stru fi al-ardhi fanzhuru, ditemukan sebanyak tujuh kali
dalam Al-Qur’an. Ini mengisyaratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan
dengan wisata ziarah.
Tafsir
Dalam tafsir pada surat Al-Ankabut ayat 19 adalah Sebenarnya
menciptakan pertama kali, sama saja bagi Allah dengan menghidupkan kembali.
Keduanya adalah memberi wujud terhadap sesuatu, kalau pada penciptaan pertama
yang wujud belum pernah ada, dan ternyata dapat wujud maka penciptaan kedua
juga memberi wujud dan ini dalam logika manusia tertentu lebih mudah serta
lebih logis daripada penciptaan pertama itu.
Dikali pertama Allah mampu menciptakan manusia tanpa contoh terlebih
dahulu. Maka kini setelah kalian menjadi tulang atau bahkan natu atau besi pun
Allah akan mampu. Bukankah menurut logika kalian lebih mudah menciptakan
sesuatu yang telah ada bahannya dan ada juga pengalaman melakukannya, daripada
menciptakan pertama kali dan tanpa contoh terlebih dahulu.
Kemudian tafsir surat Al-Ankabut ayat 20 adalah pengarahan Allah
swt untuk melakukan riset tentang asal-usul kehidupan lalu kemudian
menjadikannya bukti ketika mengetahuinya tentang keniscayaan kehidupan akhirat.
Dalam Al-Qur’an surat ini memberi arahan-arahannya sesuai dengan kehidupan
manusia dalam berbagai generasi, serta tingkat, konteks, dan sarana yang meraka
miliki. Masing-masing menerapkan sesuai dengan kondisi kehidupan dan
kemampuannya dan dalam saat yang sama terbuka peluang bagi peningkatan guna
kemaslahatan hidup manusia dan perkembangannya tanpa henti.
C.
Implementasi Konsep Belajar Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas
Berdasarkan penjelasan diatas, maka ada beberapa ayat al-qur’an
yang menyinggung tentang kewajiban belajar mengajar diantaranya adalah Q.S.
Al-alaq ayat 1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, Q.S At-taubah ayat 122, Q.S
Ali-Imran ayat 191 Dan Q.S Al-Ankabut ayat 19-20. Maka sesuai dengan ayat
al-qur’an yang telah kami jelaskan tersebut, maka implementasinya dalam proses
pembelajaran di kelas adalah :
1.
Anak
didik maupun pendidik haruslah mampu membaca atau mengkaji. Guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas
dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika. (Q.S.
Al-alaq ayat 1-5)
2.
Guru
mengajak anak didik untuk melihat keagungan Dan kebesaran ciptaan Allah SWT.
Agar kita selalu bersyukur Dan tidak ingkar kepada allah. (Q.S Al-Ghasiyah
ayat 17-20)
3.
Hendaknya Seorang guru Dan seorang anak didik
memperdalam ilmunya baik ilmu umum
maupun ilmu agamanya. Seorang guru mempersiapkan segala sesuatunya agar bisa
mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan berguna bagi anak didiknya. (Q.S At-taubah ayat 122)
4.
Hendaknya
pendidik mengajarkan dan mengingatkan anak didik untuk selalu dzikir dan pikir,
yaitu tawakkal dan ridha, berserah dan mengakui kelemahan diri. Menghindarkan
diri dari sombong. agar pembelajaran berjalan terarah hendaklah tetap mengingat
kebesaran Allah SWT. Allah SWT lah yang berhak sombong karna Dia lah yang
memiliki ilmu. (Q.S Ali-Imran ayat 191)
5.
Guru
Dan anak didik melakukan riset atau observasi lapangan guna untuk mendapatkan
bukti-bukti yang konkret yang mendukung pembelajaran. (Q.S Al-Ankabut ayat
19-20).
BAB III
KESIMPULAN
Yang dimakud dengan belajar mengajar (pendidikan) dalam arti yang
seluas-luasnya disini adalah pendidikan yang bukan hanya berarti formal seperti
disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal. Yaitu pendidikan dan
pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki ilmu pengetahuan dan
keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana saja mereka berada,
menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja, sepanjang hayat manusia
itu.
Kegiatan Belajar mengajar adalah kewajiban bagi setiap muslim,
al-qur’an menjelaskan tentang kewajiban belajar mengajar yaitu :
1. Q.S. Al-alaq ayat 1-5, kewajiban untuk membaca Dan mengkaji ilmu.
2. Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, kewajiban untuk mengkaji keagungan Allah SWT.
3. Q.S At-taubah ayat 122, kewajiban memperdalam Dan menyebarkan ilmu yang bermanfaat bagi kemaslahatan
banyak orang.
4. Q.S Ali-Imran ayat 191, kewajiban untuk dzikir dan pikir, tawakkal dan ridha, berserah dan
mengakui kelemahan diri.
5. Q.S Al-Ankabut ayat 19-20. Kewajiban
untuk melakukan perjalanan Dan observasi lapangan guna mendapatkan bukti-bukti
yang mendudkung pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Uzar Usman. 2005. Menjadi Guru
Profesional. Remaja RosdaKarya: Bandung.
Taufiq
Muhammad, Izzuddin. 2006. Dalil Anfus Alqur’an Dan Embriologi
(Ayat-ayat Tentang Penciptaan Manusia. Tiga Serangkai : Solo.
Tim
Redaksi Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat
Bahasa : Jakarta.
Shihab, M Quraish. 2001. Wawasan Al-qur’an: Tafsir
Maudhu’i Atas berbagai Persoalan Umat . Mizan : Bandung.
Nadwi, Abdullah Abbas. 1996.
Learning The Language Of The Holy Al-Qur’an (Belajar Mudah Bahasa
Al-Qur’an). Mizan : Bandung.
Al-Ghazali, 2003.
Mutiara Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh
Sang Hujjatul-Isla. Mizan: Bandung.
al-Maraghi,
Ahmad Musthafa.tp th .Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar
al-Fikr)
Shihab, M. Quraisy. 2002. Tafsir
Al-Mishbah. Lentera Hati : Jakarta.
Hamka. 1983. Tafsir Al-Azhar Juz
IV. Pustaka Panjimas: Jakarta.
Ar-Rifa’I, M. Nasib. 199. Tafsir Ibnu Katsir Jilid. I. Gema
Insani Press: Jakarta.
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, tp.th.), hal.162.
. M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 308
[14] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983), hlm. 251
[15] M. Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid. I, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), hlm. 635